Li Jing XXIV
Ji Yi
Upacara sembahyang jangan terlalu sering dilakukan. Sering itu membawa jenuh, dan jenuh berakibat tiada hormat. Upacara sembahyang jangan terlalu jarang dilakukan. Jarang itu membawa lalai, dan lalai berakibat menjadi lupa. Maka seorang Junzi harmonis mengikuti jalan suci Tian dengan menyelenggarakan sembahyang musim semi (Chun Di) dan musim rontok) (Qiu Chang). Bila ia memijak embun yang turun sebagai salju, pasti dari hatinya bergejolak rasa sedih yang tidak terbilangkan karena udara yang dingin. Bila ia memijak hujan dan embun yang turun dengan lebat pada musim semi pasti hatinya berdebar seperti akan berjumpa dengan orang yang dikenangkan. Musik untuk menyambut yang datang, dan kesedihan untuk mengantar yang pergi; maka pada upacara Di (pada musim semi) ada musik, dan pada upacara Chang (pada musim rontok) tiada musik.
Puasa yang ketat dilakukan di dalam, dan puasa yang lebih longgar dilakukan di luar. Pada hari puasa itu, dikenang bagaimana dan dimana orang yang akan disujudi itu dahulu duduk dan berdiam, betapa tawa dan bicaranya, betapa cita dan pandangannya, apa yang menjadi kebahagiaannya, dan dipikirkan apa yang diinginkan atau disukainya. Setelah tiga hari melakukan puasa, maka semuanya sudah tergambar tokoh yang dipuasai itu.
Pada hari penyelenggaraan upacara sembahyang, pada waktu memasuki ruangan (Miao), akan nampak orang yang akan disujudi itu ada di tempatnya. Pada waktu meninggalkan ruangan, akan terhenti di pintu, nampak tertahan oleh adanya suara gerakan yang terdengar, dan akan menarik nafas solah-olah mendengar suara tarikan nafas.
Demikianlah laku bakti yang diajarkan Baginda mendiang itu, (kepada orang tuanya, seorang anak) mata tidak dapat melupakan wajahnya, dan telinga tidak melupakan suarannya; dan hati tidak melupakan cita, kesukaan dan keinginan hatinya. Karena cinta yang penuh, maka (sang mendiang) itu terasa masih ada, dan karena hormatnya yang penuh, maka tampak berdiri di hadapannya. Karena nampak hidup dan berdiri di hadapannya, maka tidak dilupakan hatinya; dengan demikian, betapa tidak sentosa sempurna hormat sujudnya?
Seorang junzi, waktu (orang tuanya) hidup, dengan penuh hormat merawatnya; setelah meninggal dunia, dengan penuh hormat menyembahyanginya dan yang dipikirkan sepanjang hidupnya ialah bagaimana tidak memalukannya. Dikatakan bahwa seorang Junzi berkabung sepanjang hidupnya untuk orang tuanya, adalah dikaitkan dengan peringatan hari wafat orang tuanya. Ia tidak bekerja pada hari peringatan wafat (Ji Ri) orang tuanya, bukan karena hari itu tidak membawa berkah; hanya karena pada hari itu pikirannya dipenuhi kenangan peristiwa itu, dan tidak berani memaksakan diri untuk kepentingan pribadinya.
Hanya orang yang berkesucian sebagai nabi dapat menyampaikan persembahan kepada DI / Tuhan Khalik Semesta Alam; dan hanya seorang anak berbakti dapat menyampaikan persembahan berarti menunjukkan diri (kepada yang disujudi). Dengan menunjukkan diri baharulah persembahan itu dapat diterima. Karena itu, seorang putera berbakti tidak canggung mendekat kepada Shi (pemeran sang mendiang). Pemimpin upacara menuntun hewan korban, istrinya meletakkan mangkuk; pemimpin menaikkan persembahan kehadapan pemeran sang mendiang, istrinya mengatur dan meletakkan berbagai mangkuk berisi sajian; para menteri dan pembesar membantu pemimpin, sementara para istri yang paham dan trampil membantu istri pemimpin. Betapa Khusuk rasa hormatnya! Betapa sempurna menunjukkan kesatyaannya. Betapa sungguh-sungguh keinginannya agar persembahan itu diterima.
Raja Wen di dalam sembahyang, melayani sang mendiang seperti melayami yang hidup, memikirkan sang mendiang seolah tidak ingin hidup (lebih lama). Pada hari peringatan wafat sang mendiang, ia pasti sedih; bila disebut namanya, ia seolah nampak orang tuanya yang sudah mendiang itu. Betapa satya ia melakukan sujud, seolah ia melihat apa yang dicintai orang tuanya, dan tercermin pada wajahnya: --- demikianlah raja Wen. Tersurat di dalam kitab sanjak: ’Bila fajar membangunkan aku dari tidur, di hadapanku sudah ada kedua orang tuaku terkasih.’ (Shi Jing II.v.2), ini kiranya sanjak baginda Wen. Pada hari setelah upacara sembahyang, ketika datang fajar hari, ia tidak tidur, melainkan segera menyampaikan persembahan lagi, dan seusai itu, ia masih mengenang orang tuanya. Pada hari sembahyang, kegembiraan dan kesedihan berjalin. Ia gembira dapat menyampaikan persembahan; dan setelah berakhir, ia menjadi sedih.
Pada waktu Zhong Ni (Nabi Kongzi) meyelenggarakan sembahyang leluhur musim rontok (Chang), beliau maju menaikkan sajian kepada orang tuanya yang telah mendiang, tindak lakunya begitu khusuk tulus, tetapi langkah kakinya pendek-pendek dan sering diulangi. Setelah upacara berakhir, Zi Gong bertanya, “Dalam upacara sembahyang, bukankah Guru berkata, perlu ada suasana agung dan cermat. Kini, upacara sembahyang yang Guru selenggarakan, mengapakah tiada suasana agung dan cermat?” Nabi bersabda, “Sikap mengagungkan itu adalah wajib kepada orang yang jauh jalinannya; dan sikap cermat itu adalah bagi orang mawas diri (karena takut berbuat salah). Sikap kepada orang yang jauh, dan sikap hati-hati mawas diri (karena takut berbuat salah), mengapa dikaitkan dengan masalah berhubungan dengan Shen Ming (Rokh Suci yang dihormati)? Mengapakah harus ada suasana agung dan cermat? (Di dalam upacara sembahyang kepada raja dan penguasa) ada upacara penyambutan kembalinya Shi pemeran mendiang) ke tempatnya, dan di situ disampaikan sajian kepadanya; dipagelarkan musik dan disiapkan kuda-kuda untuk hewan korbannya; diselenggarakan berbagai upacara dan musik; disiapkan beratus jawatan untuk melayaninya. Baginda datang, dan semuanya di dalam suasana agung dan cermat. Demikianlah betapa terbina kekhusukan. Haruskah kata-kata itu terpaku pada suatu pengertian saja? Bukankah tiap-tiap ucapan itu mempunyai suasana sendiri?”
Seorang anak berbakti bila akan menyelenggarakan upacara sembahyang, selalu dipikirkan agar segala sesuatunya sudah siap tersedia; dan bila waktunya telah tiba, segala keperluan sudah harus siap; kemudian, dengan pikiran yang kosong (dari perkara lain), ia mengatur penampilannya. Bangunan dan ruang ibadah sudah diperbaiki, tembok dan atap sudah dibetulkan, beratus peralatan sudah siap, suami istri berjaga dan berpuasa, mandi dan berkeramas, digunakan pakaian lengkap. Ketika masuk membawa segala peralatan, betapa ia sungguh-sungguh dan tenang, betapa ia meresapi makna upacara, seolah-olah tidak kuasa mengangkat, seolah khawatir akan jatuh: --- sungguh, kalbunya sempurna dipenuhi rasa hormat dan semangat bakti. Diajukan sajian selengkapnya; dipagelarkan upacara dan musik, dan disiapkan beratus petugas untuk berbagai jawatan. Semua peralatan itu membantu mengungkapkan cita dan maksudnya, terjadilah kekhusukan yang menjalinkan kepada Shen Ming (Rokh suci yang disujudi). Demikianlah dilakukan persembahan, demikianlah diterima persembahan itu. Demikianlah semangat seorang anak berbakti.
Seorang anak berbakti dalam melakukan sembahyang, ia memacu diri sepenuh hati di dalam semangatnya, ketulusannya dan kesujudannya. Sungguh-sungguh diselami tata kesusilaannya sehingga tidak berbuat melampaui dan kurang. Maju-mundur penuh hormat, seolah langsung mendengar titah orang tuanya itu yang memberi perintah dan petunjuknya.
Apa yang diketahui tentang seorang anak berbakti di dalam melakukan sembahyang? Saat ia berdiri (menanti pelaksanaan sembahyang), ia begitu hormat sehingga badannya agak membongkok; saat maju akan memulai, ia begitu hormat dan nampak kegembiraannya; saat mempersembahkan sajian, ia begitu hormat dan bergairah. Setelah mundur dan berdiri, ia nampak seperti akan menerima titah; setelah sampai akhir upacara. Menyingkirkan sajian dan mundur, sikap hormat tertibnya tidak terputus nampak di wajahnya. Demikianlah laku anak berbakti dalam sembahyang. Berdiri tanpa agak membongkok, itu menunjukkan kukuh tiada perasaan; maju tidak nampak gembira, itu meremehkan; mempersembahkan sajian tiada bergairah, itu menunjukkan tidak mencintai; mundur lalu berdiri tidak nampak seperti akan menerima titah itu menunjukkan kesombongan; setelah sampai akhir upacara, menyingkirkan sajian dan mundur, sikap hormat tertibnya nampak terputus di wajahnya, itu menunjukkan lupa pokok. Upacara sembahyang yang dilaksanakan seperti itu, kehilangan maknanya.
Seorang anak berbakti yang benar-benar dalam cintanya pasti memiliki semangat penuh harmoni (He Qi); semangat penuh harmoni (rukun) itu menjadikannya berwajah gembira pasti akan memiliki perilaku yang lembut dan ramah. Seorang anak berbakti akan bertindak seperti orang yang memegang batu kumala (Yu), bagai orang membawa bejana yang penuh, betapa tenang dan hati-hati, betapa menghayati apa yang dilakukan, ia akan nampak seperti tidak kuat mendukung bebannya, seolah-olah menghadapi bahaya kalau-kalau jatuh/hilang. Kehati-hatian yang sangat itu tidak sekadar untuk melayani orang tua, melainkan menggenapkan jalan suci menjadi manusia.
Baginda mendiang itu di dalam mengatur bawah langit ini, ada lima perkara yang diperhatikan: --- memuliakan yang berkebajikan, memuliakan yang berkedudukan mulia memuliakan yang lanjut usia, menghormati yang lebih tua, dan kasih sayang kepada yang muda. Karena lima perkara inilah baginda mendiang (Wen Wang) itu berhasil memantapkan bawah langit ini. Mengapa memuliakan orang yang berkebajikan? Karena dengan demikian mendekatkan diri kepada jalan suci (Dao)! Dan selanjutnya, dengan memuliakan yang berkedudukan mulia, maka mendekatkan diri pada orang tua; dengan menghormati yang lebih tua, maka mendekatkan diri kepada kakak; dan dengan mengasihi yang masih muda usia, maka mendekatkan diri pada anak.
Maka seseorang yang sempurna bakti itu mendekati sifat raja, yang sempurna rendah hati itu mendekati sifat raja muda pimpinan (Ba). Yang sempurna bakti mendekati sifat raja, karena seorang kaisar (Tianzi) pun pasti mempunyai bapak; yang sempurna rendah hati mendekati sifat rajamuda pemimpin, karena para rajamuda pun pasti mempunyai kakak. Ajaran yang dituntunkan baginda mendiang itu, dengan tanpa perubahan, sudah menyatukan dan mengatur Negara dan rumah tangga di bawah langit ini.
Nabi bersabda, “Dengan menegakkan rasa cinta kepada orang tua masing-masing, menuntun rakyat hidup rukun. Dengan meletakkan dasar, menegakkan ajaran menghormati kakak masing-masing, menuntun rakyat hidup patuh. Dengan mendidikan sifat kasih dan rukun, menjadikan rakyat memuliakan orang tuanya. Dengan mendidikkan sikap hormat kepada yang lebih tua, menjadikan rakyat memuliakan tugas yang dititahkan. Dengan semangat bakti melayani orang tua, dan patuh mendengar titah yang tersebar luas di bawah langit ini, maka tiada sesuatu yang tidak berjalan lancar”
Pada saat upacara sembahyang Jiao (sembahyang besar kepada Tian Tuhan Yang Maha Esa), orang yang sedang berkabung tidak berani menangis, dan orang yang mengenakan pakaian berkabung tidak berani memasuki pintu gerbang negeri; inilah sempurnanya rasa hormat.
Pada hari upacara sembahyang, raja menuntun hewan berjalan maju, diikuti dan dibantu oleh puteranya yang ada di samping seberangnya; sedang para menteri dan petinggi mengikuti di belakangnya. Setelah mereka memasuki gerbang Miao (Kuil), hewan korban diikatkan pada pilar batu. Para menteri dan petinggi itu kemudian menyingsingkan lengan baju lalu maju memeriksa bulu lembu korban, dan terutama telinganya. Dengan pisau khusus (yang ditempeli lonceng-lonceng), hewan korban itu dibelah, dikeluarkan lemak sekitar isi perut, dan (sebentar) mundur. Kemudian mereka mempersembahkan daging yang telah direbus, dan sebagian mentah, dan (akhirnya) mengundurkan diri. Demikianlah sempurna persujudan.
Upacara sembahyang Jiao ialah untuk persembahan syukur besar kepada Tian Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan kepada matahari yang menjadi jodoh rembulan. Dinasti Xia melakukan sembahyang seperti itu di dalam gelap (malam hari); dinasti Yin melakukan sembahyang itu di dalam terang (tengah hari); dan dinasti Zhu melakukan sembahyang itu sepanjang hari, terutama saat fajar dan menjelang malam.
Sembahyang ke arah matahari dilakukan di atas altar (Tan), dan ke arah rembulan (Kan) dilakukan dijurang (lekuk tanah); --- ini untuk membedakan antara yang gelap dan yang terang, antara yang tinggi dan yang rendah. Sembahyang yang ke arah matahari dilakukan di timur, yang ke arah rembulan di barat; --- ini untuk membedakan antara yang luar (yang akan datang) dan yang dalam (yang akan pergi), sehingga ditunjukkan kedudukannya yang benar. Matahari terbit di timur dan bulan lahir di barat; yang gelap (Yin), yang terang (Yang), sewaktu panjang dan sewaktu pendek; bila yang satu berakhir, yang lain mulai, secara teratur berkelanjutan: --- demikianlah menjadikan keharmonisan meliputi bawah langit ini.
Li (Susila, Ajaran Agama, Ibadah) daripada bawah langit ini menjadikan (batin) insan kembali kepada yang Mula (kepada Tuhan Khalik Semesta Alam), menjadikan insan memuliakan nyawa dan roh (Gui Shen); menjadikan segala perkara harmonis dalam gunanya; menjadikan berkembangnya kebenaran; dan menjadikan berkembangnya sifat mengalah / rendah hati. Menjadikan insan kembali kepada yang mula itu mengkokohkan / menebalkan pokok / akar / dasar. Menjadikan insan memuliakan Nyawa dan Roh itu memuliakan atasan. Menjadikan segala benda berguna itu menegakkan kesejahteraan rakyat. Dengan berkembangnya kebenaran, maka tiada pertentangan antara atasan dan bawahan, Menjadikan berkembangnya sikap suka mengalah itu menyingkirkan sifat suka berebut. Yang menjadikan kokoh berpadunya kelima hal itulah Li untuk mengatur bawah langit ini. Dengan demikian, biarpun mungkin ada pemborosan karena tidak menaati peraturan, itu akan jarang terjadi.
Zai Wo berkata, “Saya sudah mendengar nama Gui (Nyawa) dan Shen (Roh), tetapi belum mengerti apa yang dimaksudkan dengan sebutan itu.” Nabi bersabda,”Qi (Semangat) itulah wujud berkembangnya daripada Shen, Bo (badan jasad) itulah wujud berkembangnya daripada Gui. Berpadu harmonisnya Gui dan Shen, itulah tujuan tertinggi ajaran agama. Semua yang dilahirkan pasti mengalami kematian; yang mengalami kematian pasti pulang kepada tanah; inilah yang berkaitan dengan Gui. Tulang dan daging melapuk di bawah, yang bersifat Yin (negatif) itu raib menjadi tanah di padang belantara. Tetapi, Qi berkembang memancar di atas cerah gemilang; diiringi asap dan bau dupa yang semerbak mengharukan. Inilah sari daripada beratus zat; perwujudan daripada Shen. “Dengan dasar sari daripada zat ini, ditegakkan hukum yang sempurna, firman gemilang tentang Gui dan Shen (Mingming Gui dan Shen) bagi kaum berambut hitam ini; menjadikan beratus masyarakat memuliakan, berlaksa rakyat tunduk.”
Para nabi (Sheng Ren) menilai semuanya itu belum cukup, maka dibangun Gong (Pura, istana) beserta ruangan-ruangannya diatur altar di dalam Gong (mana yang harus disujudi, mana yang harus disingkirkan) untuk memilahkan dekat renggangnya hubungan keluarga, antara yang sudah jauh (kuno) dan yang baru; dengan demikian mendidik / membimbing rakyat balik kepada yang kuno, kembali kepada pemulanya (Jiao min Fan Gu Fu Shi); dengan demikian tidak melupakan darimana mendapatkan hidupnya. Karena inilah masyarakat menjadi patuh / tunduk, dan segera siap mendengar bimbingan.
“Ditegakkannya dua pokok (Qi dan Bo oleh Shen dan Gui) itu, digenapi dengan dua macam upacara. Dibangun upacara pelayanan pagi, yaitu dibakarnya lemak dari isi perut hewan kurban sehingga mengeluarkan bau-bauan, diiringi nyalanya kayu selatan yang kering. Demikianlah persembahan untuk Gui, dan demikian mendidik masyarakat balik kepada pemulanya. Dipersembahkan jelai dan gandum, disajikan masakan dari hati, paru-paru, kepala dan jantung hewan korban, disertai dua mangkuk arak dan anggur wangi. Demikianlah persembahan untuk Bo, dan dengan demikian mendidik rakyat saling mencintai, antara atasan dan bawahan ada jalinan batin. Inilah tujuan yang dicapai dengan upacara ini.
“Sang susilawan (Junzi) balik kepada yang kuno, dan kembali kepada pemula (Khalik) nya, tidak melupakan darimana asal hidupnya, dan karena memiliki rasa sujud hormat, mekar berkembang perasaannya, dan dengan sepenuh tenaganya melaksanakan pelayanan untuk memberikan persembahan sebagai pernyataan terima kasih kepada orang tuanya; --- ia tidak berani tidak memacu diri.
Karena itu pada zaman dahulu, kaisar (Tianzi) menggunakan sawahnya yang seribu bau, sambil mengenakan topi kebesarannya yang persegi di atas (Mian) berpita merah, tekun-hormat meluku dan bertanam sendiri. Para rajamuda (Zhu Hou) juga menggunakan sawahnya yang seratus bau, sambil mengenakan Mian yang berpita hijau, tekun-hormat meluku dan bertanam sendiri. Mereka melakukan semuanya itu dalam mengabdi melayani Tian, bumi, gunung, sungai, Malaikat Bumi, Malaikat Gandum, dan nenek moyangnya yang sudah kuno, untuk menyiapkan sajian baharu berupa anggur, lemak-susu, dan bermangkuk-mangkuk biji-bijian. Dengan cara itulah mereka memperoleh semuanya (untuk sajian sembahyang) itu; --- demikianlah puncak pernyataan hormat itu.
Pada zaman dahulu, para kaisar (Tianzi) dan para rajamuda pasti mempunyai jawatan yang ditugaskan memelihara hewan; tiap tahun pada waktunya, setelah berjaga (Zhai) dan berpuasa (Jie), mereka berkeramas (Mu), mandi (Yu) dan secara pribadi menjenguknya. Hewan kurban dan hewan untuk sajian sembahyang yang tidak bercacat wajib diperoleh dengan cara itu; --- demikianlah puncak pernyataan hormat itu. Penguasa itu memerintahkan agar lembu-lembu itu dibawa kehadapannya untuk diperiksa; dipilih hewan kurban itu setelah dilihat bulunya, dikaji apakah akan membawa karunia, baharu kemudian disuruh peliharanya. Dengan mengenakan topi kulit, berkain putih, pada bulan baharu dan bulan purnama, penguasa itu datang memeriksa hewan yang disiapkan untuk kurban itu. Demikianlah ia memacu sepenuh tenaganya; --- semuanya demi sempurnanya bakti.
Pada zaman dahulu, para kaisar dan para rajamuda pasti mempunyai kebun pohon besaran dan ruang untuk merawat ulat sutera; Bangunan itu didirikan didekat sungai, tingginya satu tembok tiga hasta, tembok yang mengelilingi diberi duri-duri di atasnya, dan pintunya ditutup bagian luarnya. Pada saat subuh hari Da Xin (Bulan baru hari Ching Ming), sang penguasa dengan mengenakan topi kulit dan berkain putih, melakukan kajian untuk memilih perempuan yang paling diberkati dari ketiga istana istrinya (permaisuri kaisar punya enam istana, istri rajamuda punya tiga istana), untuk ditugasi membawa ulat sutera. Mereka mencuci benih (pohon besaran) yang akan ditanami ditepi sungai, mengumpulkan daun-daun besaran dari pohonnya, dan mengeringkan dengan mengangin-anginkan untuk memberi makan ulat sutera. Pada akhir tahun, perempuan-perempuan yang mendapatkan kehormatan memelihara ulat sutera itupun berakhir tugasnya, dan mereka membawa kepompong itu untuk diperlihatkan kepada sang penguasa (Raja) dan selanjutnya menyerahkan semuanya itu kepada sang permaisuri (nyonya penguasa) yang menyambutnya dengan berkata, “Bukankah ini bahan untuk jubah baginda?” Ia dengan mengenakan tutup kepala dan jubah bersulamkan burung Feng maju menerimanya dan selanjutnya menyuruh memotong kambing dan babi untuk memenuhi susila kepada perempuan-perempuan itu. Demikianlah kiranya kebiasaaan kuno untuk acara persembahan kepompong-kepompong itu. Selanjutnya, dipilih hari baik, sang permaisuri tiga kali mencuci kepompong itu dalam bejana, lalu membuka pintalannya, dan selanjutnya, dibagikan kepada para perempuan terhormat dan dipenuhi berkah dari ke tiga istana untuk membuka pintalan semuanya. Benang sutera itu kemudian dicelup menjadi berwarna merah, dan hijau, hitam dan kuning, untuk membuat jubah yang berwarna-warna lukisannya. Setelah jubah itu jadi, sang penguasa (raja) mengenakannya waktu melakukan sembahyang kepada raja dan pangeran yang telah mendahulu; --- semuanya menunjukkan sempurnanya penghormatan.
Sang susilawan (Junzi) berkata, “Kesusilaan dan musik (Li Yue) tidak boleh sekejappun dilengahkan dari diri. Bila orang telah menguasai musik, dan menggunakannya untuk mengatur hatinya, ia akan mendapatkan kemudahan untuk secara wajar di dalam hatinya, berkembang sifat lurus benar, lembut dan jujur, maka diperoleh kebahagiaan/kesukaan. Kesukaan ini akan menjadikan rasa sentosa. Rasa selamat-sentosa itu membawakan kelestarian. Kelestarian (di dalam rasa selamat sentosa) itu menjadikan orang merasakan penghayatan di dalam Tian, Tuhan Yang Maha Esa. Penghayatan di dalam Tian menumbuhkan kekuatan rokhani. Tian, meskipun tanpa bicara, dipercaya, kekuatan rokhani itu biar tanpa marah menjadikan orang gentar. Demikianlah kalau orang menguasai musik untuk mengatur hatinya. “Bila orang telah menguasai Li (kesusilaan), dan menggunakannya untuk mengatur perilakunya / membangun kepribadiannya; ia akan memiliki kemantapan dan kesungguhan (Zhuang Jing), kemantapan dan kesungguhan mendatangkan rasa gentar dan wibawa. Bila di dalam hati untuk sesaat tiada harmoni, tiada kesukaan, maka hati yang keji dan curang akan masuk. Bila di dalam perilaku untuk sesaat tiada kemantapan dan kesungguhan, maka hati yang lalai dan menggampangkan akan masuk. “Maka, musik itu menggerakkan batin yang di dalam dan kesusilaan (Li) itu menggerakkan perilaku yang di luar. Hasil akhir daripada musik ialah keharmonisan dan hasil akhir daripada kesusilaan adalah kepatuhan. Bila di dalam diri ada keharmonisan dan di luar ada kepatuhan, maka rakyat akan memandang wajahnya dan tidak akan berebut dengannya; akan melihat perilakunya dan orang banyak itu tidak tumbuh sifat lalai dan menggampangkan. Demikianlah, kebajikan yang memancar dan bergerak di dalam itu menjadikan rakyat tiada yang tidak menerima dan mendengarkan (bimbingan/peraturan) nya; perilaku di dalam hukum kebenaran yang tersebar di luar itu menjadikan rakyat tiada yang tidak menerima dan mematuhinya. Maka dikatakan, “Bila benar-benar dicapai jalan suci musik dan kesusilaan (Li Yue) sehingga memenuhi bawah langit ini, maka akan mewujudkan kemampuan menangani sesuatu tanpa mengalami kesukaraan. Musik menggerakkan batin yang di dalam, dan kesusilaan menggerakkan perilaku yang di luar. Maka tentang kesusilaan diutamakan kesederhanaan (dikurang-kurangi), dan tentang musik diutamakan penuh sempurnanya. Bila kesederhanaan kesusilaan itu dimajukan, maka majunya hal itu menjadikan keindahan (Wen) nya. Bila penuh sempurnanya musik itu menjadikan orang terus mawas diri, maka mawas diri itu akan menjadikan keindahannya. Penyederhanaan kesusilaan bila tidak dimajukan, itu akan mengakibaatkan pemborosan; dan pemenuhan sempurnanya musik tidak disertai mawas diri, itu akan mengakibatkan penyelewengan. Maka tentang LI (kesusilaan) perlu tanggapan yang benar, dan tentang musik (Yue) perlu mawas diri. Kesusilaan bila mendapatkan tanggapan benar akan membawa kesukaan/ kebahagiaan, dan musik bila disertai mawas diri akan membewakan kesentosaan batin. Bahwa kesusilaan wajib mendapatkan tanggapan yang benar, dan musik wajib disertai mawas diri, itu berlandaskan kebenaran yang satu.
Zeng Zi berkata, “laku bakti itu ada tingkatan; Bakti yang besar itu memuliakan orang tua; yang kedua, tidak memalukannya; dan yang terbawah, hanya dapat memberi perawatan.”
Gong-ming Yi (murid Zeng Zi) bertanya, bolehkah guru dinyatakan sebagai (teladan putera berbakti?” Zeng Zi berkata, “Ucapan apa itu? Ucapan apa itu! Yang dipandang sebagai laku bakti oleh susilawan ialah kemampuan menanggapi harapan orang tua, dan mewujudkan cita-cita dan upaya ayah bunda di dalam menempun jalan suci. Can hanya mampu memberikan perawatan; betapa boleh merasa sudah sentosa di dalam laku bakti?”
Zengzi berkata, “Diri ini adalah warisan tubuh ayah bunda. Memperlakukan tubuh warisan ayuah bunda, beranikah tidak penuh hormat? Rumah tangga tidak dibenahi baik-baik, itu tidak berbakti. Mengabdi kepada pemimpin tidak setia, itu tidak berbakti. Mengemban suatu jabatan tidak dilakukan sungguh-sungguh, itu tidak berbakti. Kepada kawan dan sahabat tidak dapat dipercaya, itu tidak berbakti. Bertugas di medan perang tiada keberanian, itu tidak berbakti. Tidak dapat menyelenggarakan lima perkara ini, itu akan memberikan aib kepada orang tua, beranikah orang itu tidak bersungguh-sungguh? Menyiapkan daging sedap dan beras yang ditanak, mencicipinya, lalu menyuguhkannya kepada orang tua, itu bukan berbakti, hanya merawatnya. Yang dinamai laku bakti oleh seorang Junzi, ialah perilaku yang dipuji orang senegeri dengan seruan, “Sungguh bahagia orang tua memiliki anak sedemikian itu.” Demikianlah yang dinamai laku bakti itu. Laku bakti itu ialah pokok ajaran agama. Pelaksanaan bakti itu nampak dalam hal merawatnya. Orang mungkin dapat memberikan perawatan; tetapi, adanya rasa hormat, itulah yang sukar. Orang mungkin dapat menghormat; tetapi, kemampuan memberikan ketenteraman / kesentosaan, itulah yang sukar. Orang mungkin dapat memberikan ketenteraman / kesentosaan itulah yang sukar. Setelah ayah bunda meninggal dunia, bila orang dapat hati-hati memperhatikan perilakunya sehingga tidak memberi nama buruk kepada ayah bunda, ia boleh dinamai mampu menggenapkannya. Cinta kasih ialah cinta kasih di dalam hal ini; kesusilaan ialah kesusilaan di dalam hal menempuh ini; kebenaran ialah melaksanakan kewajiban dalam hal ini; dapat dipercaya ialah dapat dipercaya di dalam hal ini: perkasa ialah kuat di dalam hal ini; musik ialah lagu yang muncul selaras dengan semangat ini; dan hukuman ialah tindakan yang dikenakan karena pelanggaran terhadap hal ini.
Zeng Zi berkata, “Adapun laku bakti itu, adalah hal yang memenuhkan ruang antara langit dan bumi; dan akan berkembang membentang di antara keempat penjuru lautan; menjangkau sampai zaman-zaman kemudian, tiada batas pagi maupun petang; menunjuk sampai ke lautan timur, lautan barat, lautan selatan, maupun lautan utara. Tersurat di dalam kitab sanjak, ‘Dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan, tiada yang tidak bermaksud tunduk kepadanya.’ (Shi Jing III.i.10.6) Demikianlah yang dimaksudkan.”
Zeng Zi berkata, “Pohon wajib dipotong pada waktunya; burung-hewan wajib disembelih pada waktunya.” Nabi bersabda, “Sekali memotong pohon, sekali meyembelih hewan tidak pada waktunya, itu melanggar laku bakti.” Laku bakti itu ada tiga tingkatan: bakti yang kecil menggunakan tenaga; bakti yang tengah menggunakan kejerih-payahan; dan bakti yang besar tidak dapat diukur dengan pikiran. Karena cinta dan sayangnya melupakan jerih payah, itu boleh dinamai menggunakan tenaga. Menjunjung cinta kasih dan sentosa di dalam kebenaran (Zun Ren An Yi), itu boleh dinamai menggunakan kejerih-payahan. Dan, yang dapat menyiapkan segala-galanya dalam pengabdian, boleh dinamai tidak dapat diukur dengan pikiran. Bila dicinta ayah bunda, jangan karena gembira lalu lupa segala-galanya. Bila dibenci ayah bunda, berprihatin tetapi jangan menggerutu. Bila ayah bunda bersalah, di dalam memperingatkan jangan melanggar (susila). Bila ayah bunda tiada, sembahyangilah dengan sajian hasil perbuatan yang berdasar cinta kasih. Demikianlah dinamai menggenapkan Li (kesusilaan).”
Yue-Zeng Zi-Chun (murid Zeng Zi) terluka kakinya tatkala turun dari serambi, dan beberapa bulan tidak dapat keluar rumah. Bahkan setelah baik ia masih nampak bersedih. Salah seorang murudnya bertanya, “Kini kaki guru sudah membaik, biarpun untuk beberapa bulan tidak dapat keluar rumah; mengapakah guru masih nampak bersedih?” Yue-Zeng Zi Chun menjawab, “Sungguh baik pertanyaanmu; sungguh baik pertanyaanmu! Apa yang kudengar dari guru Zeng Zi, dan apa yang didengar Guru Zeng Zi dari Nabi adalah demikian : ‘Dari semua yang diciptakan Tian, dari semua yang dipelihara bumi, tiada yang lebih besar (mulia) daripada manusia. Ayah bunda lengkap sempurna telah melahirkan, dan sang putera lengkap-sempurna memulangkannya; itu boleh dinamai berbakti. Bila tubuh tiada yang berkurang, dan diri tiada yang termalukan, itu boleh dinamai lengkap sempurna. Maka seorang susilawan (Junzi) biar satu langkah kaki tidak berani melupakan ayah bunda; sepatah kata yang keluar, ia tidak berani melupakan ayah bunda. Selangkah kaki tidak berani melupakan ayah bunda, maka berjalan melewati jalan besar, bukan jalan yang sempit; menyeberangi sungai menggunakan perahu, tidak merenangi; --- ia tidak berani menggunakan tubuh warisan ayah bunda, untuk melakukan hal yang mencelakakan. Sepatah kata ia tidak berani melupakan ayah bunda, maka kata-kata yang jahat / buruk tidak akan keluar dari mulutnya, dan karenanya tiada kata-kata kemarahan membalik kepada dirinya. Tidak menghinakan diri dan tidak menyebabkan malu orang tua, itu boleh dinamai berbakti.”
Pada zaman dahulu, baginda Yu Shun menghargai kebajikan dan memuliakan usia; dinasti Xia menghargai kedudukan dan memuliakan usia, dinasti Yin menghargai kekayaan dan memuliakan usia; dan dinasti Zhou menghargai kaum keluarga dan memuliakan usia. Baginda Yu Shun, para pendiri dinasti Xia, Yin, dan Zhou adalah raja-raja yang jaya-mulia di bawah langit ini, semuanya tiada yang lengah memuliakan usia. Sungguh sudah lama di bawah langit ini menghargai usia. Demikian pula selanjutnya orang wajib mengabdi kepada orang tuanya.
Karena itu, orang-orang yang sama tingkat, tempat yang termulia diberikan kepada yang paling tua. Orang yang berusia tujuh puluh tahun datang ke istana membawa tongkat. Bila raja bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ia tetap disilakan duduk ditikarnya (tidak usah berdiri). Orang yang sudah berusia 80 tahun tidak diwajibkan menghadap ke istana, dan bila raja akan bertanya sesuatu kepadanya, ia datang ke rumahnya. Demikianlah kewajiban berendah hati (bersikap sebagai adik) berlaku di istana.
Orang yang lebih muda bila berjalan bersama orang yang lebih tua, ia tidak berjalan sejajar. Kalau ia tidak di samping agak di belakangnya, ia mengikuti di belakangnya. Melihat orang tua (berpapasan di jalan), berkereta atau berjalan kaki, orang wajib menepi memberi jalan. Orang yang rambutnya sudah separuh putih, tidak membawa beban di jalanan. Demikianlah kewajiban berendah hati berlaku di jalanan umum. Berdiam di kampung, orang diatur berdasar usianya, orang tua sekalipun miskin tidak diabaikan, yang kuat tidak berbuat kegila-gilaan kepada yang lemah, yang banyak tidak sewenang-wenang kepada yang sedikit. Demikianlah kewajiban berendah hati berlaku di desa dan kampung-kampung.
Jalan suci yang berlaku pada zaman kuno, orang yang sudah berusia 50 tahun tidak dituntut mengikuti perjalanan berburu; dan hasil daripada perburuan itu, kepada yang lebih tua diberikan bagian yang lebih banyak. Demikianlah kewajiban berendah-hati di dalam acara perburuan. Pada tiap-tiap regu pasukan yang terdiri dari sepuluh atau lima orang, di antara mereka yang sama pangkatnya, tempat kehormatan diberikan kepada yang lebih tua. Demikianlah kewajiban berendah-hati berlaku di dalam pasukan.
Kewajiban bakti dan rendah hati yang digelarkan di istana; dilaksanakan di jalan-jalan; berlaku sampai ke desa dan kampung; meluas sampai ke arena perburuan dan dibinakan di dalam pasukan. Mereka akan bersedia mati demi menegakkan kebenaran dan tidak berani melanggarnya.
Upacara sembahyang di Ming Tang (desung kecerahan) mendidikan laku bakti kepada raja muda; perjamuan tiga sesepuh dan lima pakar di perguruan tinggi (Da Xue) mendidikkan laku rendah hati kepada para rajamuda; upacara sembahyang kepada para bijak yang telah mendahulu di perguruan barat mendidikkan kebajikan kepada para rajamuda; raja meluku dan bertanam sendiri mendidikkan bagaimana memberikan perawatan (bagi rakyat) kepada para rajamuda); kewajiban menghadap istana (pada musim semi dan musim rontok) mendidikkan bagaimana kewajiban sebagai menteri kepada para rajamuda. Lima perkara ini ialah pendidikan besar (Da Jiao) bagi bawah langit ini.
Di dalam acara menjamu tiga sesepuh dan lima pakar (San Lao dan Wu Geng) di perguruan tinggi (Da Xue) itu, kaisar (Tianzi) dengan tangan telanjang memotong-motong hewan korban, dan keliling mengedarkan kuah; ia juga menyampaikan mangkuk untuk mencuci mulut, dengan mengenakan topi kebesarannya (Mian) dan menyandang perisainya. Demikianlah ia mendidikkan kerendah hatian kepada para raja muda. Karena itulah di desa dan kampung orang menghargai usia, dan orang yang tua dan miskin tidak dilalaikan, yang kuat tidak berbuat kegila-gilaan kepada yang lemah, dan yang banyak tidak sewenang-wenang kepada yang sedikit; --- semuanya itu datang karena pengaruh dari perguruan tinggi (Da Xue). Kaisar mendirikan empat perguruan (Si Xue) itu; dan ketika puteranya yang tertua memasuki salah satu perguruan itu, anak itu menempatkan diri berdasarkan pertimbangan usianya.
Ketika kaisar melakukan perjalanan keliling untuk inspeksi, para rajamuda menjumpainya di daerah perbatasan. Kaisar pertama-tama mengunjungi mereka yang berusia 100 tahun. Kalau ada yang berusia 80 tahun atau 90 tahun di daerah arah perjalanan ke timur, sekalipun ia dalam perjalanaan ke barat, ia tidak berani melewati (tanpa menjumpainya); demikian pula kalau ia akan ke timur dan mereka ada di barat. Bila ia akan membicarakan urusan pemerintahan dengan mereka, meski ia penguasa, ia akan pergi menjumpainya.
Orang yang mendapatkan kedudukan pertama di dalam jabatan, ia menempatkan diri di antara orang yang berumur (dalam pertemuan) di desa dan kampungnya; orang yang mendapatkan kedudukan kedua dalam jabatan, ia juga menempatkan diri di antara yang berumur. Tetapi di dalam pertemuan untuk seluruh kaum, tiada orang yang berani mendahului mereka yang berumur 70 tahun. Orang yang berumur 70 tahun, ia tidak wajib menghadap ke istana kalau tidak benar-benar ada urusan besar. Bila karena suatu urusan besar sehingga ia menghadap ke istana, raja/penguasa wajib berdiri memberi hormat dengan Yi untuk menunjukkan rasa hormatnya, baharu menyilakannya mengambil tempat di antara yang berkedudukan mulia.
Betapapun kaisar memiliki kebaikan, dengan rendah hati ia menyatakan kebajikan itu adalah karunia Tian Tuhan Yang Maha Esa; betapapun rajamuda memiliki kebaikan, ia memulangkan itu kepada kaisar; betapapun seorang menteri atau pembesar memiliki kebaikan, ia mengkaitkan hal itu kepada rajamudanya; betapapun seseorang memiliki kebaikan, ia menyatakan semuanya itu berpokok kepada ayah-bundanya, dan terpelihara karena para tua-tua dan sesepuh (Zhang Lao) nya. Semua penghasilan, kedudukan, kejayaan dan anugerah semuanya dilaksanakan di kuil leluhur (Zong Miao); demikianlah untuk menunjukkan semangat kepatuhan dan kekhidmatan.
Pada zaman dahulu, Nabi (Sheng Ren) menegakkan prinsip Yin Yang (Negatif-positif) yang menjiwai segala sesuatu di antara langit dan bumi; hal ini ditegakkan sebagai dasar daripada perubahan (Yi). Orang yang akan melakukan kajian tentang perubahan itu sambil memegang batok kura-kura dalam lengan tangannya, menghadap ke selatan, sedang kaisar (Tianzi) dengan mengenakan jubahnya yang bersulam naga dan topi kebesarannya, berdiri dengan wajah menghadap ke utara. Biarpun (kaisar itu) cerah pandai di dalam hati, ia merasa perlu mengajukan dan mendapatkan keputusan tentang apa yang terkandung di dalam citanya; --- ini menunjukkan ia tidak berani mengambil jalan kemauan sendiri karena ia menjunjung-muliakan Tian Tuhan yang Maha Esa (sebagai pembuat keputusan tertinggi). Segala kebaikan, semuanya dinyatakan karena orang lain, segala kesalahan, semuanya dinyatakan karena dirinya. Ini mendidikkan orang tidak menyombongkan diri, dan memuliakan para bijaksana.
Seorang putera berbakti, pada waktu akan melakukan upacara sembahyang, ia wajib menyiapkan hatinya agar teratur, tepat dan mantap, untuk menjadikan dirinya mampu memikirkan segala sesuatunya yang baik, seperti menyiapkan jubah dan peralatan lain, memperbaiki kuil beserta ruangan-ruangannya dan mengatur segala sesuatunya. Setelah tiba hari sembahyang, wajahnya wajib ramah tamah; tindak tanduknya wajib penuh kehati-hatian, seolah khawatir tidak cukup rasa cintanya. Pada waktu melakukan persembahan, wajah dan sikapnya ramah dan lembut; tubuhnya membongkok, bagai sedang siap mendengarkan bicara (dari yang disujudi) yang belum diucapkan setelah pembantu upacara semua keluar, ia perlahaan berdiri diam dan lurus seolah ia akan kehilangan pandangan (akan orang yang disujudi). Setelah usai sembahyang, ia nampak gembira penuh harap seolah mereka (yang disujudi itu) akan kembali dan masuk / datang. Dengan demikian, kecerahan dan kebaikan tidak lepas dari dirinya; pendengaran dan penglihatan tidak lepas dari hatinya; pikirannya tidak lepas dari orang tuanya. Apa yang berkait dan berada di dalam hatinya mewujud di wajahnya dan perilakunya; dan ia senantiasa mawas diri; --- demikianlah cita semangat seorang anak berbakti.
Letak altar bagi Malaikat Bumi dan Gandum (She Ji) ada di bagian kanan; dan letak Miao leluhur (Zong Miao) ada di bagian kiri.