logo

Shi Jing IX

Sanjak dari Negeri Wei

    1. Sungguh halus sepatu yang dianyam dari serat rami (Ge) boleh untuk berjalan menginjak embun beku. Jari-jari terampil perempuan itu boleh untuk membuat baju. Untuk sabuk pakaian bawah dan kerah di atas, demikian dikenakan pakaian laki-laki yang dikasihi.
    2. Laki-laki yang dikasihi mengenakan itu, dengan santun berdiri di pinggir kiri. Dari ban pinggangnya bergantung lencana gading. Nampak betapa kepicikannya, menjadi bahan untuk sindiran.
  1. Catatan:

    Sanjak-sanjak dari negeri Wei (yang dimaksudkan dengan negeri Wei ini sebenarnya adalah negeri Jin) ini dihimpun pada zaman Chun Qiu saat pemerintahan raja muda Jin Xian Gong (676 – 651 s.M). Pada tahun 660 s.M negeri Wei dihancurkan oleh raja muda dari negeri Jin itu. Rajamuda-rajamuda negeri Wei adalah pewaris raja dinasti Shang yang bermarga Ji. Sanjak ini menceritakan kehidupan mewah rajamuda-rajamuda negeri Wei itu. Baris kedua terakhir menegaskan betapa akibat perilaku itu.

    1. Dari tanah lumpur sungai Fen, dikumpulkan berbagai daun-daun Mo. Dialah laki-laki, yang tampan tak terperi. Ia tampan tak terperi, tetapi kiranya tidak antas mengemudi kekuasaan.
    2. Sepanjang tepi sungai Fen, dipetik daun pohon besaran. Dialah laki-laki, tampan bagai bunga. Ia tampan bagai bunga, tetapi kiranya tidak pantas mengemudi jalan pemerintahan.
    3. Di sepanjang tikungan sungai Fen, dikumpulkan rumput bibir kerbau. Dialah laki-laki, tampan bagai batu kumala. Ia tampan bagai batu kumala, tetapi kiranya tidak pantas sebagai pemimpin kaum.
  2. Catatan:

    Sanjak ini bersifat sindiran kepada para penguasa negeri Wei, hanya tampan dalam penampilan tetapi tidak mampu sebagai pengemudi Negara.

    1. Di taman ada pohon persik, buahnya boleh untuk makanan. Hatiku dipenuhi kepedihan, aku menyanyi dan melantunkan sanjak. Orang yang tidak mengerti aku mengatakan aku seorang siswa yang menyombongkan diri. ‘Orang itu benar; apa maksud kata-katamu?’ hatiku dipenuhi kepedihan; siapa akan memahami? Siapa akan memahami? Karena mereka tidak mau berpikir.
    2. Di taman ada pohon bidara (Ji), buahnya boleh dimakan. Hatiku dipenuhi kepedihan, nampaknya aku harus mengembara ke berbagai Negara. Orang yang tidak mengerti aku mengatakan aku seorang siswa yang tidak tahu masalah. ‘Orang itu benar; apa maksud kata-katamu?’ hatiku dipenuhi kepedihan; siapa akan memahami? Siapa akan memahami? Karena mereka tidak mau berpikir.
  3. Catatan:

    Sanjak ini bersifat sindiran tentang seorang siswa/pejabat yang penuh keprihatinan terhadap pemerintahan negerinya yang tidak semestinya dan justru orang salah memahaminya.

    1. Aku mendaki bukit yang berselimut pohon-pohonan, kutinjau arah kediaman ayahku. Ayah berkata, “aduhai anakku, di tempat jauh mengemban tugas, pagi dan malam tak pernah istirahat. Semoga ia berhati-hati, sehingga ia boleh pulang dan tinggal di sini!”
    2. Aku mendaki bukit gundul, kutinjau arah kediaman ibuku. Ibuku berkata, “aduhai anakku, di tempat jauh mengemban tugas, pagi dan malam tak pernah tidur. Semoga ia berhati-hati, sehingga ia boleh pulang dan dirinya tak terbuang!”
    3. Aku mendaki punggung bukit, kutinjau arah kediaman kakakku. Kakakku berkata, “aduhai adikku, di tempat jauh mengemban tugas, pagi dan malam harus rapat dengan kawan-kawannya. Semoga ia berhati-hati, sehingga ia boleh pulang dan tidak mati!”
  4. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan seorang perwira muda yang sedang mengemban tugas dan terkenang kepada sanak familinya di rumah.

    1. Di antara sepuluh bahu ladang, peladang besaran berdiri santai. “Mari”, (satu kepada yang lain) “Aku akan pulang bersamamu.”
    2. Di luar sepuluh bahu ladang, peladang besaran berdiri santai. “Mari”, (satu kepada yang lain) “Aku akan pulang bersamamu.”
  5. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan kepolosan sikap petani di negeri Wei terhadap pemerintahannya yang korup.

    1. Kan-kan ia mengapak pohon cendana, diletakkan hasil tebangannya di tepi sungai, yang airnya mengalir jernih dan beriak. Kamu tidak bertanam maupun menuai, bagaimana kamu mengambil hasil tiga ribu bahu ladang itu? Kamu tidak ikut berburu, betapa terlihat korban buruan tergantung di halaman rumahmu? O, seorang Junzi! Ia tidak makan tanpa berkarya! (Bu Su Shi Xi)
    2. Kan-kan mengapak kayu untuk ruji kereta, dan diletakkan di tepi sungai, yang airnya mengalir jernih dan beriak. Kamu tidak bertanam maupun menuai, bagaimana kamu mendapatkan tiga juta potongan itu? Kamu tidak ikut berburu, bagaimana terlihat hasil potongan tergantung di halaman rumahmu? O, seorang Junzi! Ia tidak makan tanpa berkarya!
    3. Kan-kan berlanjut suara kapak memotong kayu untuk roda, dan diletakkan hasilnya di muara sungai, yang airnya mengalir jernih dan bergelombang. Kamu tidak bertanam maupun menuai, bagaimana kamu mendapatkan padi untuk tiga ratus gerobakmu? Kamu tidak ikut berburu, bagaimana dapat terlihat burung puyuh tergantung di halaman? O, seorang Junzi! Ia tidak makan tanpa berkarya.
  6. Catatan:

    Sanjak ini bersifat sindiran; mengecam para menteri Negara Wei yang malas dan tamak (Lihat Mengzi VII : A : 32)

    1. Tikus besar! Tikus besar! Jangan kau makan jewawutku. Tiga tahun sudah aku bekerja untukmu, dan kamu tidak menunjukkan perhatianmu kepadaku. Aku akan pergi meninggalkanmu, dan pergi ke tanah bahagia (Le Tu). Tanah bahagia! Tanah bahagia! Di sanalah aku mendapatkan tempat.
    2. Tikus besar! Tikus besar! Jangan kau makan gandumku. Tiga tahun sudah aku bekerja untukmu, dan kamu mengingkari kebajikan kepadaku. Aku akan pergi meninggalkanmu, dan pergi ke negeri bahagia. Negeri bahagia! Negeri bahagia! (Lee Guo) Di sanalah aku mendapatkan bagian.
    3. Tikus besar! Tikus besar! Jangan kau makan bulir-bulir padiku. Tiga tahun sudah aku bekerja untukmu, dan kamu tidak menunjukkan kepedulian kepadaku. Aku akan pergi meningagalkanmu, dan pergi ke tanah perbatasan yang bahagia (Le Jiao). Tanah perbatasan bahagia! Tanah perbatasan bahagia! Di sana siapa yang akan menjadikanku meratap?
  7. Catatan:

    Sanjak ini bersifat kiasan; menunjukkan penentangan terhadap penindasan di negeri Wei. Penulis mengungkapkan diri sebagai rakyat yang tertindas.