logo

Shi Jing III

Sanjak dari Bei Wilayah Negeri Wei

    1. Terapung-apung perahu dari pohon Bo; mengapung mengikuti aliran. Aku resah tak dapat tidur, mempunyai kesedihan yang tersembunyi. Itu bukan karena aku tidak punya anggur, atau tidak dapat pesiar dan mengembara.
    2. Hatiku bukanlah cermin; tidak dapat menanggung berbagai tekanan. Biarpun aku memiliki kakak dan adik, tetapi tidak dapat bersandar kepadanya. Bila aku pergi dan mengeluh kepadanya, aku hanya beroleh kemarahan.
    3. Hatiku bukanlah batu; tidak dapat berguling-guling. Hatiku bukanlah tikar; tidak dapat digulung. Perilakuku mantap dan baik, tiada kesalahan dapat ditunjukkan.
    4. Hatiku penuh keprihatinan; aku dibenci orang-orang rendah budi; aku mengalami banyak kepedihan. Sering aku menderita cemoohan. Dengan diam kurenungkan masalahku, menjelang tidur kupukul dadaku.
    5. Di sana matahari dan rembulan; mengapa yang satu kecil dan yang lain tidak ? Kepedihan menggeluti hatiku, bagai baju tidak dicuci. Dengan diam kurenungkan masalahku, tetapi aku tidak dapat mengepakkan sayap dan terbang.
  1. Catatan:

    Keluhan seorang pejabat jujur di tengah rekan-rekannya yang korup, terjadi pada masa pemerintahan pangeran Wei Qing Gong (866 – 854 s.M.).

    1. Hijau warna jubah atasku, hijau berkelim kuning! Betapa pedih rasa hatiku, Kapan berakhir penderitaan ini?
    2. Hijau warna jubah atasku, hijau bagian atas dan kuning bagian bawah! Betapa pedih rasa hatiku, betapa dapat dilupakan.
    3. Hijau sudah kain suteraku, engkaulah yang telah melakukan. Tetapi aku ingat akan orang kuno itu, mencegahku berbuat salah.
    4. Kain linen halus maupun kasar, sejuk dipakai diterpa angina. Kuingat akan orang kuno itu, membawakan ketentraman dalam hatiku.
  2. Catatan:

    Menurut tafsir Zhu Xi, sanjak ini melukiskan kepedihan permaisuri Zhuang Jiang yang diabaikan oleh suaminya, pangeran Wei Hou (Wei Zhuang Gong) 757 – 735 s.M. karena tidak punya anak.

    1. Beterbangan burung layang-layang, dikepakkan sayapnya meninggi merendah. Sang putri telah pulang (ke negerinya), sampai jauh aku mengantarnya melewati hutan. Kupandang sampai tak nampak lagi, bercucuranlah air mataku bagai hujan.
    2. Beterbangan burung layang-layang sebentar meninggi sebentar menurun. Sang putri telah pulang, sampai jauh aku mengantarnya. Kupandang sampai tak nampak lagi, lama aku berdiri dan menangis.
    3. Beterbangan burung layang-layang, dari bawah, dari atas, terdengar suara cicitnya. Sang putri telah pulang, sampai jauh aku mengantarnya ke selatan. Kupandang sampai tak nampak lagi, sungguh berat dan pedih rasa hatiku.
    4. Putri Zhong Shi sungguh menggugah rasa kasih; sungguh dalam perasaannya. Dia lembut dan ramah, pribadinya penuh kebajikan. Kenangan kepada pangeran mendiang, aku merasa diriku tak berharga.
  3. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan dan menyindir putri Zhuang Jiang yang dipenuhi kepedihan tatkala harus berpisah dari suaminya; ia pulang ke negerinya Chen karena putranya yang menjadi raja muda di negeri Wei, Wei Huan Gong memerintah tahun 734 -719 s.M. mati karena dibunuh oleh saudaranya yang bernama Zhou Yu.

    1. O… Matahari, O… Rembulan, cahayamu menyinari bumi di bawah! Inilah manusianya, yang memperlakukanku tidak sesuai aturan zaman kuno. Betapa ia dapat beroleh ketetapan hati? Akankah ia tidak memperdulikanku?
    2. O… Matahari, O… Rembulan, yang menaungi bumi di bawah! Inilah manusianya, yang akan tidak bersahabat denganku. Betapa ia dapat beroleh ketetapan hati? Akankah ia tidak menangggapiku?
    3. O… Matahari, O… Rembulan, yang terbit dari timur! Inilah manusianya, nampak bajik kata-katanya namun sesungguhnya tidak baik. Betapa ia dapat beroleh ketetapan hati? Akankah ia segera melupakanku?
  4. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan keluhan putri Zhuang Jiang terhadap Zhou Yu, putra tirinya yang membunuh pangeran Wei Huan Gong, saudara tirinya pada tahun 718 s.M. Zhou Yu yang diasuh oleh putri Zhuang Jiang membunuh pangeran untuk merebut kekuasaan.

    1. Betapa dahsyat hembusan angin. Ia melihatku dan tersenyum, dengan makian; disertai senyuman sombong. Di lubuk hati yang dalam, aku bersedih.
    2. Angin bertiup disertai awan berdebu. Ia nampak murung menghampiriku; namun tidak pergi maupun datang. Jauh-jauh aku memikirkannya.
    3. Angin berhembus dan langit berawan; sebelum hari terbenam, timbul lagi mendung. Aku terjaga dan tidak dapat lelap; Terasa tidak dapat bernafas memikirkannya,
    4. Dimana-mana mendung dan gelap, dan Guntur menggelegar. Aku terjaga dan tidak dapat lelap; terasa sakit dadaku memikirkannya.
  5. Catatan:

    Sanjak ini melukiskan putri Zhuang Jiang yang senantiasa dipenuhi pedih dan keresahan atas suami dan anak-anaknya.

    1. Dengar gemuruh suara tambur! Betapa kami melompat, menggerakkan senjata! Demikian terjadi di padang Negara dan benteng kota Cao, sendiri aku berjalan ke selatan.
    2. Kami ikuti Sun Zi-Zhong, dilakukan perdamaian dengan negeri Chen dan Song; tetapi ia tidak kembali, hati dipenuhi kepedihan.
    3. Di sini kami berdiam; di sini kami berhenti; di sini kami kehilangan kuda; kami berupaya mencarinya di antara pohon-pohon di hutan.
    4. Mati atau hidup, betapapun harus berpisah, kepada para istri kami ucapkan. Kami pegang tangannya; menjadi tua bersama mereka.
    5. Aduh inilah perpisahan! Tidak ada harapan untuk hidup. Aduh inilah yang harus terjadi! Aku tidak dapat memenuhi kepercayaannya.
  6. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan tentara negeri Wei yang harus mengikuti komandannya, Sun Zi-Zhong dua kali menyerang negeri Zheng. Zhou Yu membunuh pangeran Wei Huan Gong dan rakyat mengalami keresahan. Untuk mengalihkan perhatian, Zhou Yu menggempur negeri Zheng dan membuat persekutuan dengan negeri Song, Chen dan Cai. Peperangan hanya berlangsung lima hari. Tetapi pada musim rontok bala tentara yang dipimpin orang negeri Lu balik ke selatan dan menjarah ladang negeri Zheng. Terjadi pada tahun 718 s.M., dapat dibaca dalam kitab Chun Qiu (I. IV. 4,5)

    1. Sepoi-sepoi lembut angin selatan, meniup hati pohon bidara (Ji), hati bidara indah berseri. Ibu, betapa berat dan sakit dikau berpayah!
    2. Sepoi-sepoi lembut angin selatan, menghembus cabang pohon bidara, ibu, dikau suci mulia. Sayang, aku belum menjadi orang.
    3. Dimana sumber yang dingin? Ada di bawah parit yang dalam. Ada tujuh anakmu, ibu, dikau payah sengsara.
    4. Berkicau burung kepodang, suaranya sungguh merdu. Ada tujuh anakmu, ibu, siapa penghibur kalbu?
  7. Catatan:

    Sanjak ini kiasan tentang tujuh orang anak suatu keluarga di negeri Wei yang menyesali diri tidak dapat membahagiakan ibunya yang hidup menjanda.

    1. Terbanglah burung pegar jantan, dengan malas mengepakkan sayap. Dikau orang yang kukasihi!, sungguh jauh kita berpisah.
    2. Terbang sudah pegar jantan; suaramu meninggi merendah. O… dikau susilawan ! Sungguh betapa berat hatiku.
    3. Menatap matahari dan rembulan, hatiku memikirkan. Jaraknya demikian jauh; betapa ia dapat kemari?
    4. Kamu beratus susilawan, aku tidak tahu betapa laku bajikmu? Tanpa iri tanpa tamak; --- siapakah tidak akan berbuat baik? (Lun Yu IX:27)
  8. Catatan:

    Sanjak ini melukiskan keprihatinan karena perpisahan dengan sang suami dan mengenang segala kebaikannya.

    1. Labu itu berdaun pahit, dan aliran itu terlalu dalam diseberangi. Bila dalam, aku menyeberang dengan menggunakan baju; bila dangkal, kusingkap ke atas jubahku.
    2. Aliran itu naik airnya; dengarlah teriakan pegar betina. Sekalipun penuh, aliran itu tidak akan membasahi as keretaku. Pegar betina itu memanggil pasangannya.
    3. Sungguh merdu suara angsa hutan, saat matahari terbit di pagi hari. Anak muda bila akan menjemput mempelai, datanglah sebelum es mencair.
    4. Lihatlah tukang perahu itu mendayung; yang lain ikut menyeberang, tetapi aku tidak. Yang lain ikut menyeberang, tetapi aku tidak; aku menanti kawanku.
  9. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan saat pagi hari musim rontok tatkala daun-daun labu berjatuhan dan air pasang, seorang perempuan menanti tunangannya di pinggir sungai. Zuo Qiu Ming, Penulis Chun Qiu Zuo Chuan mengkaitkan sanjak ini dengan peristiwa memprihatinkan di negeri Wei era pemerintahan Wei Xuan Gong (718 s.M. – 700 s.M.). Wei Xuan Gong ini seorang raja yang sangat brengsek, istri pertamanya yang bernama Yi Jiang adalah selir ayahnya yang diselingkuhinya dan mempunyai anak yang bernama Ji Zi, istrinya yang lain bernama Xuan Jiang, diperoleh waktu melamarkan putranya tetapi kemudian diambil sendiri dan beranak dua orang Shou dan Shuo. Lihat kitab Chun Qiu tahun ke 16 pemerintahan Lu Huan Gong (Chun Qiu Zuo Chuan II. Xvi. 5)

    1. Sepoi-sepoi angin timur, derai mendung dan hujan. Paculah senantiasa memiliki kesamaan hati, jangan membiarkan kemarahan muncul. Petik-petiklah waluh dan Lombok, jangan abaikan karena akarnya yang di bawah. Menempuh jalan suci jangan ingkari, aku akan hidup bersamamu sampai mati.
    2. Lambat-lambat kutapaki jalan, sekalipun di dalam hati ada rasa enggan. Tidak jauh, hanya sejenak lagi, akan menyertaiku sampai ambang pintu. Siapa berkata selada itu pahit? Bagiku manis bagai buah Ji. Pesta pernikahan barumu, seolah terasakan bersama kakak dan adik.
    3. Lumpur sungai Jing berasal sungai Wei, dasarnya nampak bagai pulau. Pesta pernikahanmu yang baru, aku merasa tidak pantas menyertai. Jangan dekati tanggulku, jangan singkirkan keranjangku. Aku telah tercampak; apa yang akan terjadi masa depanku?
    4. Di tempat air yang dalam, kuseberangi dengan rakit atau perahu. Di tempat yang dangkal, kurenangi untuk menyeberang. Apakah aku akan memiliki atau kehilangan? Kupacu diriku untuk mendapatkan. Bila di antara rakyat ada yang akan mati, aku akan merangkak menolongnya.
    5. Bukan aku mendapat penghiburan, bahkan aku dianggap musuh. Engkau lecehkan kebajikanku, bagai barang dijajakan tidak terjual. Dahulu aku khawatir kehabisan tenaga, aku datang kepadamu untuk beroleh bantuan. Kini dalam kelimpahanmu, engkau menyamakan aku racun.
    6. Aku miliki berbagai sayuran, demi jaminan di musim dingin. Pesta pernikahanmu yang baru, kau anggap aku hanya jaminan untuk kemelaratanmu. Kau perlakukan aku hanya dengan kegarangan dan kemarahan; engkau hanya memberikanku kesakitan. Engkau tidak ingat akan masa lalu, hanya senantiasa memarahiku.
  10. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan kehidupan seorang perempuan yang suaminya menikah lagi dengan orang lain. Suasana seperti itulah yang terjadi di lingkungan istana negeri Wei.

    1. Parah! Parah! Mengapa tidak kembali? Kalau bukan karenamu pangeran, mengapa kita terdampar di hamparan embun?
    2. Parah! Parah! Mengapa tidak kembali? Kalau bukan karenamu pangeran, mengapa kita di tengah lumpur?
  11. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan beberapa orang pejabat yang mengungsi dan menderita di negeri Wei, mereka mengajak Lihou, pangerannya mengungsi dari negeri Di pada zaman raja muda Wei Xuan Gong (718 – 700 s.M.)

    1. Pohon Ge di lereng bukit yang tinggi dan landau; --- betapa luas tempatnya menyebar! O… mengapa engkau para paman, mengabaikan begitu banyak hari-harimu?
    2. Mengapa santai tidak melakukan gerakan? Lakukanlah persatuan. Mengapa hanya berlama-lama? Pasti ada penyebabnya.
    3. Bulu rubah telah rusak tercabik-cabik, mengapa kereta tidak diarahkan ke timur? O… para paman, mengapa tidak bangkit bersama?
    4. Berantakan dan terpecah belah, kami anak-anak bertebaran! O… para paman, tidak kau pahami jubahmu yang lengkap, tetapi dengan telinga tertutup.
  12. Catatan:

    Sanjak ini bersifat sindiran dan menceritakan keluhan para menteri pangeran Li-Hou kepada penguasa negeri Wei yang tidak mau membantu mereka.

    1. Gampang! Sungguh gampang, telah siap pentas berlaksa tarian. Matahari telah di tengah, di depan telah siap pentas.
    2. Dengan tokoh kita yang perkasa, di ruang pangeran terselenggara berlaksa tarian, penuh kekuatan bagai harimau; kendali di tangan bagai memegang pita.
    3. Di tangan kiri kupegang seruling; di tangan kanan kupegang bulu pegar. Aku menjadi merah bagai dipoles, kata pangeran berilah anggur.
    4. Di gunung ada pohon Zhen, Di paya-paya ada rumput manis (Qin) mana yang kudambakan? Orang yang tampan dari barat. O… dia orang yang tampan dan baik! Itulah orang yang ada di barat!
  13. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan keprihatinan seorang pejabat negeri Wei menceritakan betapa sia-sia pengabdiannya dan mengenang pendahulunya yang berasal dari sebelah barat negeri Wei, wilayah negeri Zhou.

    1. Meluap air dari sumber itu, mengalir ke sungai Qi! Kerinduanku ada di negeri Wei; tiada hari aku tidak memikirkannya. Terpujilah mereka, sepupuku; Akan kuajak mereka berunding.
    2. Ketika keluar aku bermalam di Ji, beriringan minum di Ni. Bila perempuan melakukan perjalanan (untuk menikah), Jauhlah dari ayah, bunda, kakak, dan adik. Aku akan pamit kepada bibiku, kemudian kepada kakak perempuanku.
    3. Aku keluar dan bermalan di Gan, Minum beriringan di Yan. Iringan kereta kembali dimulai. Segera kami sampai di Wei, Namun tidakkah ini salah?
    4. Kenanganku kepada Fei Quan, senantiasa aku menarik nafas tentangnya. Kenanganku kepada Xu dan Cao, Jauh-jauh hatiku kepada yang di sana. Marilah melaju menuju kesana, menghapus keprihatinanku.
  14. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan seorang putri Negeri Wei yang menikah ke negeri lain, senantiasa merindukan dapat mengunjungi kembali negeri Wei. Gan dan Yan adalah nama tempat di luar ibu kota negeri putri itu menikah.

    1. Aku keluar dari gerbang utara, dengan hatiku penuh duka. Sungguh malang hidupku, tidak seorang memahami penderitaanku. Ya begitulah! Tian telah menjadikan semuanya ini, apa harus kukatakan?
    2. Tugas raja menimpa diriku, urusan pemerintahan berlangsung menjadi ukuran. Saat aku pulang dari luar, seisi rumah berkerumun mencelaku. Ya begitulah! Tian telah menjadikan semuanya ini, apa harus kukatakan?
    3. Tugas raja dibebankan kepadaku, urusan pemerintahan terus kian menumpuk. Saat aku pulang dari luar, seisi rumah mendera diriku. Ya begitulah! Tian telah menjadikan semuanya ini, apa harus kukatakan?
  15. Catatan:

    Sanjak ini berisi ungkapan seorang pejabat negeri Wei atas beban berat yang ditanggungnya, namun tetap diam karena ketaqwaannya kepada Tian.

    1. Angin utara bertiup dingin; hujan salju bertumpuk tebal. Engkau yang mengasihi dan memperhatikanku, mari bergandeng tangan bersama pergi. Adakah ini saat bersantai? Semua dalam kondisi darurat!
    2. Angin utara bertiup mendesing; hujan salju berkelanjutan. Engkau yang mengasihi dan memperhatikanku, mari bersama pergi bergandeng tangan. Adakah ini saat bersantai? Semua dalam kondisi darurat!
    3. Tiada yang merah kecuali gerombolan rubah, tiada yang hitam kecuali gagak. Engkau yang mengasihi dan memperhatikanku, mari bersama ke kereta bergandeng tangan. Adakah ini saat bersantai? Semua dalam kondisi darurat!
  16. Catatan:

    Sanjak ini tentang seorang perwira di negeri Wei yang mengajak kawan-kawannya meninggalkan negeri bersamanya untuk mengatasi tekanan dan kesengsaraan.

    1. Betapa memukau perempuan pendiam! Yang menantiku di sudut kota. Mencintai dan tidak bertemu, Aku menggaruk kepala kebingungan.
    2. Betapa santun perempuan pendiam! Ia memberiku seruling merah. Seruling merah itu cemerlang, sungguh aku menyukai kecantikannya.
    3. Dari padang gembala ia memberiku pucuk daun Yi, sungguh indah dan jarang didapat. Bukan kamu, rumput, tetapi kecantikannya, engkau pemberian seorang yang cantik.
  17. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan seorang laki-laki yang mengeluh dan putus asa tidak dapat menemui seorang putri yang akan menjadi pendampingnya.

    1. Sungguh megah menara baru, di tengah bengawan He yang luas dan dalam. Ia mendambakan pasangan yang lembut dan santun, bukan kumpulan berudu yang buruk !
    2. Sungguh tinggi Negara baru, mengambang di tengah bengawan He. Ia mendambakan pasangan yang lembut dan santun, bukan kumpulan berudu yang buruk !
    3. Jaring ikan yang ditebar, seekor berudu masuk di dalamnya. Ia mendambakan pasangan yang lembut dan santun, hanya si bongkok buruk yang didapat !
  18. Catatan:

    Sanjak ini bersifat sindiran kepada pangeran Wei Xuan Gong yang mengambil sendiri calon menantunya dan membangun sebuah menara di bengawan He untuk menyambutnya (699 s.M.). Berudu itu menunjuk kepada pageran dan pasangan itu ialah putra pangeran Wei.

    1. Dua putra naik perahu, bayangannya nampak mengambang (di air). Aku khawatirkan kedua putra itu, di dalam hati senantiasa resah.
    2. Dua putra naik perahu, mengikuti arus mengambang menuju jauh. Aku khawatirkan kedua putra itu, tidakkah mereka terancam bahaya?
  19. Catatan:

    Sanjak ini menceritakan kematian dua putra Wei Xuan Gong : Lihat juga catatan sanjak No.IX. Xuan Jiang dan Shuo (putranya), telah lama merencanakan membunuh Ji Zi untuk merebut suksesi sebagai penerus negeri Wei. Akhirnya, dengan suatu rencana menyuruh penjahat membunuhnya begitu mendarat di tepi utara sungai He, mereka berhasil meminta pangeran Wei Xuan Gong menitahkan Ji Zi ke negei Qi. Shou mengetahui rencana itu maka memberitahu Ji Zi agar melarikan diri ke Negara lain. Ji Zi lebih rela menerima nasibnya dari pada melarikan diri. Agar dirinya yang dibunuh penjahat, Shou menjadikan Ji Zi mabuk dan mengambil alih perahunya. Ketika Ji Zi sadar dan melihat Shou telah pergi, ia mengejar adiknya itu, tetapi terlambat. Shou telah dibunuh sehingga akhirnya kedua putra itu (Shou dan Ji Zi) dibunuh penjahat.